Ketika saya dihadapkan pada beberapa orang yang mempertanyakan kenapa saya beragama dan kenapa saya memilih agama Islam sebagai agama yang saya pilih dan menjadi panutan dalam hidup saya. Sejujurnya memang agak sulit menjawab pertanyaan itu, secara jika kita lihat secara harfiah agama itu sendiri adalah suatu rasa kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menganut agama yang paling diyakini oleh mereka. Tak salah jika Indonesia mempunyai mempunya berbagai macam agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Bahkan mungkin ada beberapa yang memang tidak menganut agama yang saya sebutkan tadi (atheis). Karena pada dasarnya setiap orang berhak memilki pendapat dan keyakinan mengenai kepercayaan mereka masing-masing.
Karena pada dasarnya suatu kepercayaan akan tetap ada apabila masih ada penganut dari agama itu sendiri. Mungkin sama seperti yang dikatakan dalam teori Durkheim yang menyebutkan bahwa agama muncul berdasarkan society. Ya, memang benar, bagaimanapun tidak ada suatu agama yang terbentuk tanpa ada umat didalamnya. Bahkan Greetz juga berpendapat bahwa agama itu berdasarkan budaya. Untuk yang satu ini, saya perlu mencerna lebih dalam lagi, tentang agama dan kebudayaan iu sendiri. Memang bisa saling berhubungan tetapi terkadang kebudayaan tidak terlalu memegang peranan penting dalam keputusan seseorang untuk memilih suatu kepercayaan.
Bahkan pada dasarnya ketika kita lahir kedunia ini dalam keadaan masih bayi, tanpa disadari kita sudah menganut suatu agama berdasarkan agama yang sudah dianut oleh kedua orang tua kita. Tanpa kita sadari apa maksud dari agama tersebut, tetapi terkadang dari kecil kita sudah dibiasakan familiar dengan agama yang dianut oleh kedua orang tua kita. Tanpa kita sadari kita mengikuti agama berdasarkan agama orang tua kita. Walau pada dasarnya kita bisa memilih agama kita sendiri pada saat kita mulai menginjak usia dewasa. Tetapi memang sangat jarang hal itu terjadi. Bahkan ketika seseorang anak untuk memilih agama yang berbeda dengan orang tuanya, mereka cenderung melarang dan marah. Padahal itu hak pribadi anak mereka, bahkan orang tua pun tidak bisa ikut andil dalam pengambilan keputusan dalam memilih kepercayaan anaknya. Karena kasus ini sempat terjadi oleh teman saya sendiri.
Tetapi bagi saya agama itu bukanlah hanya untuk sebagian kalangan saja seperti yang dikatakan dalam teori Karl Max yang mengatakan bahwa agama adalah alat untuk menina bobokan kalangan kaum miskin. Saya pribadi sangat tidak setuju dengan teori Karl Max tersebut, karena ketika kita melihat agama jangan hanya dilihat dari segi ekonominya saja, tetapi juga harus mempertimbangkan unsur-unsur lain didalamnya. Jika kita hanya fokus pada ekonomi dan beranggapan bahwa orang yang beragama adalah orang miskin. Disitulah terjadi salah persepsi. Karena ketika kita mendapat musibah, masalah atau kesulitan terkadang kita selalu melampiaskan atau mengatas namakan tuhan sebagai “pemberi cobaan” atas musibah yang kita hadapi. Mereka berdoa, memohon dan mengadukan semua masalah yang terjadi kepada tuhannya. Itu adalah suatu yang wajar dilakukan bagi seorang umat beragama.
Sebagai seorang muslim, saya mempercayai agama saya dan tak sedikit pun meragukan agama yang saya anut sekarang. Walau pada dasarnya semua agama itu baik, tetapi bagi saya, saya tetap berpegang teguh pada agama saya yaitu Islam. Saya mempercayai tuhan saya salah satunya dengan menjalankan shalat lima waktu sebagai tiang agama dalam kepercayaan saya, tak hanya shalat saya juga melakukan puasa, zakat, pergi haji, dll. Saya mempercayai tuhan saya dihati saya yang saya yakini bisa menjadi pegangan baik dalam saya susah maupun senang. Saya tidak pernah menggambarkan tuhan saya dengan sesuatu apapun, walaupun sempat terbesit dalam hati saya mengenai sosok tuhan saya itu sendiri. Tetapi saya percaya akan adanya tuhan, karena semua manusia dan alam jagad raya ini nantinya akan kembali ke padaNya.
No comments:
Post a Comment