CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Pages

Wednesday, December 07, 2011

Kepercayaan yang Seutuhnya By Desri Fitriana


           Ketika saya dihadapkan pada beberapa orang yang mempertanyakan kenapa saya beragama dan kenapa saya memilih agama Islam sebagai agama yang saya pilih dan menjadi panutan dalam hidup saya. Sejujurnya memang agak sulit menjawab pertanyaan itu, secara jika kita lihat secara harfiah agama itu sendiri adalah suatu rasa kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menganut agama yang paling diyakini oleh mereka.  Tak salah jika Indonesia mempunyai mempunya berbagai macam agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Bahkan mungkin ada beberapa yang memang tidak menganut agama yang saya sebutkan tadi (atheis). Karena pada dasarnya setiap orang berhak memilki pendapat dan keyakinan mengenai kepercayaan mereka masing-masing.
            Karena pada dasarnya suatu kepercayaan akan tetap ada apabila masih ada penganut dari agama itu sendiri. Mungkin sama seperti yang dikatakan dalam teori Durkheim yang menyebutkan bahwa agama muncul berdasarkan society. Ya, memang benar, bagaimanapun tidak ada suatu agama yang terbentuk  tanpa ada umat didalamnya. Bahkan Greetz juga berpendapat bahwa agama itu berdasarkan budaya. Untuk yang satu ini, saya perlu mencerna  lebih dalam lagi, tentang agama dan kebudayaan iu sendiri. Memang bisa saling berhubungan tetapi terkadang kebudayaan tidak terlalu memegang peranan penting dalam keputusan seseorang untuk memilih suatu kepercayaan.
            Bahkan pada dasarnya ketika kita lahir kedunia ini dalam keadaan masih bayi, tanpa disadari kita sudah menganut suatu agama berdasarkan agama yang sudah dianut oleh kedua orang tua kita. Tanpa kita sadari apa maksud dari agama tersebut, tetapi terkadang dari kecil kita sudah dibiasakan familiar dengan agama yang dianut oleh kedua orang tua kita. Tanpa kita sadari kita mengikuti agama berdasarkan agama orang tua kita. Walau pada dasarnya kita bisa memilih agama kita sendiri pada saat kita mulai menginjak usia dewasa. Tetapi memang sangat jarang hal itu terjadi. Bahkan ketika seseorang anak untuk memilih agama yang berbeda dengan orang tuanya, mereka cenderung melarang dan marah. Padahal itu hak pribadi anak mereka, bahkan orang tua pun tidak bisa ikut andil dalam pengambilan keputusan dalam memilih kepercayaan anaknya. Karena kasus ini sempat terjadi oleh teman saya sendiri.
            Tetapi bagi saya agama itu bukanlah hanya untuk sebagian kalangan saja seperti yang dikatakan dalam teori Karl Max yang mengatakan bahwa agama adalah alat untuk menina bobokan kalangan kaum miskin. Saya pribadi sangat tidak setuju dengan teori Karl Max tersebut, karena ketika kita melihat agama jangan hanya dilihat dari segi ekonominya saja, tetapi juga harus mempertimbangkan unsur-unsur lain didalamnya. Jika kita hanya fokus pada ekonomi dan beranggapan bahwa orang yang beragama adalah orang miskin. Disitulah terjadi salah persepsi. Karena ketika kita mendapat musibah, masalah atau kesulitan terkadang kita selalu melampiaskan atau mengatas namakan tuhan sebagai “pemberi cobaan” atas musibah yang kita hadapi. Mereka berdoa, memohon dan mengadukan semua masalah yang terjadi kepada tuhannya. Itu adalah suatu yang wajar dilakukan bagi seorang umat beragama.
            Sebagai seorang muslim, saya mempercayai agama saya dan tak sedikit pun meragukan agama yang saya anut sekarang. Walau pada dasarnya semua agama itu baik, tetapi bagi saya, saya tetap berpegang teguh pada agama saya yaitu Islam. Saya mempercayai tuhan saya salah satunya dengan menjalankan shalat lima waktu sebagai tiang agama dalam kepercayaan saya, tak hanya shalat saya juga melakukan puasa, zakat, pergi haji, dll. Saya mempercayai tuhan saya dihati saya yang saya yakini bisa menjadi pegangan baik dalam saya susah maupun senang. Saya tidak pernah menggambarkan tuhan saya dengan sesuatu apapun, walaupun sempat terbesit dalam hati saya mengenai sosok tuhan saya itu sendiri. Tetapi saya percaya akan adanya tuhan, karena semua manusia dan alam jagad raya ini nantinya akan kembali ke padaNya.

Tuesday, December 06, 2011

Technology to Teach Thinking Skills By Desri Fitriana (Journal 5)


Actually as a teacher a little bit hard to teach thinking skill to our students. Because to develop students’ thinking skill we as a teacher should prepare learning activities and technology tools to supports their thinking skill. When we applied learning activities to our students, we should consider about students’ cognitive itself. Better if we as a teacher applied activities which consist of cognitive skill (the students should think) and also movements. So, it likes discussion, jigsaw, micro-teaching and role-play, etc. Those activities can encourage our students to do cognitive skill and also movements. As a student in SSE, I have felt that those activities have a good impact for me to develop my thinking skill, because I not only know about the subject itself but I also have known about how I implement that subject in the real life.
            Actually when our students acquire the lesson we should consider how are they remember it, whether it is short term or long term. Better if we make our lesson to long term memory in their concept. Basically, students more remember about something which meaningful to them rather than visual or auditory. So that is why Bloom made a Bloom’s Taxonomy about students’ steps acquires the lesson.
            In SSE sometimes we called Low Order Thinking Skill (LOTS) and High Order Thinking Skill (HOTS) for represent Bloom’s Taxonomy. LOTS it likes a recall, memorizing, explaining and etc. HOTS more higher than LOTS, because in HOTS we expected to apply our knowledge, combining ideas and develop our knowledge. So that is why in SSE we focused on HOTS approach. Unfortunately, most of senior high school tends to used LOTS for their examination, not HOTS. The types of questions in Senior High School focused on remembering not applying.